1. PENDAHULUAN
Sebagian besar Negara di dunia ini
memiliki sistem perpajakan untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya. Tidak
terkecuali dengan Indonesia di mana pajak menjadi tulang punggung untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam rangka menyediakan barang
public dan jasa public.
Mekanisme perpajakan yang dianut di
Indonesia saat ini untuk berbagai jenis pajak didasarkan pada self assessment
system. Self assessment adalah suatu system yang menentukan bahwa rakyat yang
telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak secara otomatis harus menghitung dan
menetapkan sendiri berapa besarnya utang pajaknya, menyetorkannya ke Kas Negara
dan mempertanggung jawabkan penghitungan, penetapan, dan pembayaran pajak
tersebut kepada otoritas perpajakan yang disebut dengan istilah Fiskus.
Self assessment system itu
mengandung hal yang penting, yang diharapkan ada dalam diri wajib pajak yaitu :
- Tax consciousness atau kesadaran wajib pajak.
- Kejujuran wajib pajak.
- Tax mindedness wajib pajak, hasrat untuk membayar pajak.
- Tax discipline, disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan perpajakan sehingga pada waktu wajib pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Undang-undang.
Self
assessment system ini baru akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat
diatas dapat dipenuhi. Kenyataannya? Jangankan untuk jujur dalam menghitung
kewajiban, atau disiplin untuk membayar, kesadaran untuk menjadi WAJIB PAJAK
saja masih sangat kurang. Buktinya, tax ratio Indonesia masih dibawah rata-rata
negara tetangga kita.
Tax
ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB)
menunjukkan besar bagian PDB yang bisa ditarik kembali sebagai pajak oleh
negara. Tax ratio juga bisa menjadi parameter untuk melihat seberapa produktif
sistem perpajakan suatu negara dalam mengumpulkan penerimaan negara, dimana
semakin tinggi (rendah) nilai tax ratio, menjadi tolok ukur semakin maju
(rendah) sistem perpajakan negara tersebut.
Karena
sifat pungutan pajak yang membebani pengusaha dan tidak adanya imbal balik
(kontra prestasi) secara langsung, masyarakat cenderung menghindari kewajiban
pajak. SPT sebagai sebuah pertanggung jawaban WP atas perhitungan pajak diisi
seadanya saja. Asalkan transaksi-transaksi yang terintegrasi dengan
instansi/lembaga lain sudah dilaporkan, WP merasa cukup. Sementara itu,transaksi-transaksi
yang tidak terpantau cenderung disembunyikan.
Saat
ini Indonesia memiliki rasio pajak terendah kedua setelah Myanmar diantara
negara-negara Asean. Rata-rata rasio pajak yang dimiliki Indonesia semenjak
1985-1999 adalah 11,31%, jauh di bawah Singapura (22,24%), Malaysia (20,17%),
Thailand (17,28%) dan Filipina (14%).
Ketika
UU Perpajakan direvisi kembali pada tahun 1994, rasio pajak yang dicapai juga
hanya berkisar 12%. Yang lebih memprihatinkan, rasio pajak tahun 1997/1998,
1998/1999 dan 1999/2000 terus mengalami penurunan menjadi 11,4%, 9,7% dan 7,7%.
Coverage
ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak RIIL dibanding POTENSI pajak
yang sebenarnya ada, menggambarkan tingkat kejujuran wajib pajak dalam
menjalankan kewajibannya. rendahnya nilai tax coverage ratio mengindikasikan
adanya banyak kewajiban pajak yang lolos dari penjaringan pajak. Sebagai
gambaran, besar tunggakan pajak sampai pertengahan tahun 2000 yang lalu mencapai
lebih kurang Rp 14 triliun.
Penerapan
Self Asessement sebenarnya bisa efisien dan efektif jika pelaksanaannya
disertai mekanisme kontrol yang baik yang didukung dengan sebuah database yang
komprehensif. Logikanya jelas, jika wajib pajak X membayar sejumlah A maka
Direktorat Jendral Pajak harus dapat membuktikan bahwa memang hutang pajak X
adalah sejumlah A. Bagaimana caranya? Tentunya dengan sebuah komparasi data.
Direktorat Pajak tidak dapat memeriksa ulang kewajiban wajib pajak tanpa basis
data yang jelas.
Keterbatasan
database di DJP, akan mulai teratasi dengan keluarnya UU KUP 27/2007 yang
dipasal 35A ayat (1) dan (2) secara tegas menyoroti perihal akses data. Lewat
pasal tersebut wajib pajak dipaksa untuk membuka akses data mereka bagi
keperluan pemeriksaan pajak selama (sampai dengan) 10 tahun kebelakang.
Jika
pasal ini benar benar diterapkan, banyak pihak yang percaya mayoritas wajib
pajak bisa terkena tuduhan penggelapan pajak. Wajib Pajak yang jujur sepertinya
sangat minoritas dinegeri ini. Terlihat dari persentasi tax ratio dan coverage
ration yang rendah itu. Atas pertimbangan inilah kemudiah Direktorat Jendral
Pajak mengeluarkan sebuah fasiltas baru bernama Sunset Policy.
Dalam
penjelasan yang disampaikan oleh Dirjen Pajak dalam berbagai kesempatan, ia
mengakui bahwa latar belakang dikeluarkan fasiltas tersebut adalah: "Untuk
menghindarkan pengenaan sanksi atas kewajiban perpajakan masa lalu dan untuk
memulai keterbukaan pelaksanaan perpajakan di masa mendatang."
Sunset
Policy akan menjadi Ground Zero dimulainya era keterbukaan dan reformasi
perpajakan, dengan sebuah database yang lebih akurat, ditahun 2009 dan
selanjutnya. Bagi sebagian Wajib Pajak, pemberian Sunset Policy kurang
maksimal. Fasilitas yang habis masanya pada 31 Desember 2008 hanya memberi
pembebasan atau pengurangan sanksi pembayaran bunga. Keringanan ini masih
dirasakan kurang terutama bagi kalangan pebisnis yang sedari awal menginginkan
adanya fasiltas pengampunan pajak (Tax Amnesty).
Tax
Amnesty sendiri sudah mengalami tarik ulur yang cukup lama. Pemerintah selama
ini berada dipihak yang resisten terhadap Amnesty. Pada tahun 2005 silam wacana
untuk memberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) yang sudah dari zaman
dahulu muncul, sebenarnya sudah mendapat sambutan positif dari pemerintah. Hal
ini terlihat dari keinginan Menteri Keuangan waktu itu (Yusuf Anwar) untuk
menyusun draft Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Tim
Review untuk mengkaji dan mereview draft tersebut juga sudah terbentuk dan
bekerja dengan baik. Sayangnya, pokok-pokok pikiran beserta draft RUU-nya belum
sempat sampai ke Presiden, Yusuf Anwar keburu diganti. Upaya untuk menyusun Tax
Amnesty tidak dilanjutkan.
Tax
Amnesty sebenarnya dapat dibedakan menjadi Soft Tax Amnesty dan Hard Tax
Amnesty.Soft Tax Amnesty memungkinkan untuk memberikan pengampunan atas sanski
administrasinya, sementara Hard Tax Amnesty memberikan pengampunan atas Sanksi
Pidananya. Untungnya, untuk mengantisipasi gagalnya RUU Tax Amnesty, pemerintah
memasukkan Soft Amnesty ke dalam batang tubuh RUU KUP, yaitu dalam Pasal 37A.
Pasal 37A ini hanya berlaku satu
tahun, yaitu tahun 2008 saja. Karena berlakunya hanya dalam jangka waktu sangat
singkat, yaitu di tahun pertama, maka kebijakan ini disebut Sunset Policy.Sunset
sendiri berarti matahari yang hampir tenggelam.Sama dengan matahari yang hampir
tenggelam (sunset), ketentuan (policy) yang ada dalam PAsal 37A UU KUP pun akan
berakhir (tenggelam) pada 31 Desember 2008.
2. PEMBAHASAN
Sunset policy adalah semacam
pengampunan pajak yang terbatas pada sanksi administrasi berupa bunga yang
tidak akan dikenakan apabila Wajib Pajak yang berhak menyampaikan Surat
Pemberitahuan tertentu.
Ada dua jenis pengampunan berupa
penghapusan sanksi ini yang diberikan oleh Undang-undang KUP yang baru ini.
Pertama adalah pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga
atas pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007. Yang kedua
adalah penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang
dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan
NPWP.
A. Jenis Sunset Policy
Ada dua jenis sunset policy
berdasarkan ketentuan yaitu :
- Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Baru
Penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib
Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya.
Fasilitas pembebasan sanksi ini
khusus diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi saja yang mendaftarkan diri
secara sukarela dalam tahun 2008. Wajib Pajak yang memperoleh NPWP dalam tahun
2008 berdasarkan hasil ekstensifikasi termasuk dalam kriteria mendaftarkan diri
secara sukarela ini sehingga dapat menggunakan fasilitas sunset policy.
Termasuk dalam lingkup penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
meliputi penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang terkait
dengan pembayaran:
a.
Pajak Penghasilan Pasal 29;
b.
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau
c.
Pajak Penghasilan Pasal 15.
Yang dibayar sendiri dan dilaporkan
dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
- Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Lama
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak
Lama adalah Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum 1
Januari 2008. Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak diberikan kepada Wajib Pajak lama, baik
Orang Pribadi maupun Badan, yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007.
Termasuk dalam lingkup pembetulan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak meliputi pembetulan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang terkait dengan pembayaran:
a.
Pajak Penghasilan Pasal 29;
b.
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau
c.
Pajak Penghasilan Pasal 15,
yang
dibayar sendiri dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
B. Persyaratan Yang Harus Dipenuhi
Untuk mendapatkan fasilitas
penghapusan sanksi yang dikenal dengan sunset policy ini, Wajib Pajak baru
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. secara
sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun
2008;
2. tidak
sedang dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
3.
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya
terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat
tanggal 31 Maret 2009; dan
4.
melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Sedangkan persyaratan bagi Wajib
Pajak baru adalah sebagai berikut :
1. telah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008;
2.
terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum
diterbitkan surat ketetapan pajak;
3.
terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum
dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa
Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
4. telah
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi Pemeriksaan Bukti Permulaan
tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan
adanya Bukti Permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan;
5. tidak
sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan;
6.
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya paling
lambat tanggal 31 Desember 2008; dan
7.
melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
8. Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
sedang dilakukan pemeriksaan yang juga meliputi jenis pajak lainnya, maka
pemeriksaan tersebut dihentikan kecuali untuk pemeriksaan terhadap Surat
Pemberitahuan atas pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar; atau pemeriksaan
tersebut tetap dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
9. Dalam
hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
tidak sedang dilakukan pemeriksaan, namun atas Surat Pemberitahuan jenis pajak
lainnya untuk periode yang sama sedang dilakukan pemeriksaan, maka pemeriksaan
tersebut dihentikan kecuali untuk pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan atas
pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar; atau pemeriksaan tersebut tetap
dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
10.Dalam
hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan menyatakan
lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap
sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan.
C. Tidak Dapat Digunakan Dasar
Menetapkan Pajak Lain
Data dan informasi yang tercantum
dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak lama
tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak
atas pajak lainnya. Dengan ketentuan ini fihak aparat pajak tidak dapat
menggunakan data dalam SPT PPh Pembetulan untuk menagih jenis pajak lainnya.
Misalnya data dalam SPT Pembetulan SPT PPh tidak dapat digunakan menagih PPN
melalui analisis ekualisasi PPh dan PPN.
Terhadap pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan tidak dilakukan
pemeriksaan, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa
pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut tidak benar.
Dalam hal terhadap pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan dilakukan
pemeriksaan karena memenuhi ketentuan di atas, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak atas seluruh
kewajiban perpajakan.
D. Wajib Pajak Lama Yang Belum
Menyampaikan SPT
Wajib Pajak lama yang sebelum 1
Januari 2008 telah memiliki NPWP dan sampai dengan 31 Desember 2007 belum
menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007, dapat menyampaikan SPT
Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007. SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007
yang disampaikan dalam tahun 2008 tersebut diperlakukan sebagai pembetulan SPT
Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 yang memanfaatkan sunset policy. Jadi
yang dapat memperoleh fasilitas sunset policy ini bukan hanya atas pembetulan
SPT Tahunan PPh saja tetapi juga SPT Tahunan PPh yang memang belum pernah
disampaikan untuk tahun pajak sebelum 2007.
E. Fasilitas Sunset Policy Lebih Dari
Satu kali
Pembetulan yang diberikan
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga adalah pembetulan SPT Tahunan PPh
yang disampaikan sebelum tanggal 1 Juli 2008 dan satu kali pembetulan setelah
30 Juni s.d. 31 Desember 2008. Dengan demikian, apabila sebelum 1 Juli Wajib
Pajak sudah menyampaikan SPT PPh Pembetulan dan mendapatkan fasilitas sunset
policy, maka setelah tanggal 1 Juli sampai dengan 31 Desember 2008 dapat
melakukan sekali lagi pemebetulan untuk mendapatkan fasilitas sunset policy.
Apabila sebelum 1 Juli 2008 Wajib
Pajak lama belum melakukan pembetulan, maka hak atas penyampaian SPT Pembetulan
hanya satu kali saja dalam rangka untuk mendapatkan fasilitas sunset policy.
F. Ketentuan Lain
1.
Penyampaian SPT menggunakan formulir SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang
bersangkutan.
2.
Menuliskan ”Pembetulan berdasarkan Pasal 37A UU KUP” atau ”SPT
berdasarkan Pasal 37A UU KUP” di bagian atas tengah SPT Induk & setiap
lampirannya
3. Kurang
bayar dalam SPT Tahunan PPh harus dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP).
4.
Melampirkan SSP lembar ke-3 pada SPT Tahunan PPh.
5.
Disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Dasar Hukum :
- Pasal
37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
- Pasal 33
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008
-
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 27/PJ/2008
-
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2008
-
Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor 33/PJ/2008
G.
Keputusan Pemerintah pada Tanggal 24
Maret 2008
Pada tanggal 24 Maret 2008
pemerintah mengeluarkan pengumuman yang bagi sebagian masyarakat (baca:wajib
pajak) merupakan angin sejuk ditengah-tengah badai ekonomi Indonesia. Berikut
adalah isi dari pengumuman tersebut:
P E N G U M U M A N
NO. 02 /PJ.09/2008
FASILITAS PENGHAPUSAN SANKSI PAJAK
PENGHASILAN
Kepada seluruh masyarakat dihimbau
untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan sesuai dengan Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang baru, bahwa:
1. Bagi orang
pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP paling
lambat tanggal 31 Desember 2008 dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak
2007 dan tahun-tahun sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009, diberikan
fasilitas penghapusan sanksi administrasi dan tidak akan dilakukan pemeriksaan.
2. Bagi Wajib
Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan yang membetulkan Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya, diberikan
fasilitas penghapusan sanksi administrasi, sepanjang pembetulan tersebut
dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2008.
3. Untuk
keterangan lebih lanjut, hubungi Kriing Pajak (Call Center Pajak) 500200 atau
Kantor Pelayanan Pajak terdekat.
Jakarta, 24 Maret 2008
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan
Humas
t.t.d
Djoko Slamet Surjoputro
NIP 060044562
(Note:underline oleh penulis)
Dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 pemerintah secara terbuka juga memberikan
semacam pengampunan pajak terhadap wajib pajak. Nah, kebijakan inilah yang
disebut dengan sunset policy. Pasal yang mengatur sunset policy tersebut adalah
Pasal 37A Undang-Undang KUP. Dalam pengumuman diatas oleh pemerintah ditegaskan
kembali aplikasi sunset policy tersebut.
Bunyi pasal 37A tersebut adalah sebagai
berikut:
(1) Wajib Pajak
yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak
orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang
ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang
dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak
dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang
menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar
atau menyatakan lebih bayar.
Dari penjelasan
diatas terlihat bahwa pemerintah memberikan dua jenis “pengampunan” yaitu untuk
penghapusan sanksi administrasi dan terhindar resiko pemeriksaaan kepada WP
yang baru mendaftarkan NPWP pada tahun 2008 dan penghapusan sanksi administrasi
(bukan pengurangan sanksi) terhadap WP yang melakukan pembetulan SPT untuk
tahun pajak 2006 s/d 1998 (sesuai daluarsa pajak). Tentunya penerapan
pengampunan ini dapat dilakukan asalkan kekurangan pokok pajak (apabila ada)
telah dilunasi oleh WP.
Lebih lanjut
pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2008 tanggal 6
Pebruari 2008 pada Pasal 3 pemberian penghapusan sanksi administrasi ini
dilakukan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak. Apabila telah
terlanjur dikeluarkan STP oleh KPP wajib pajak bisa mengajukan surat permohonan
penghapusan sanksi administrasi sesuai Pasal 36 Ayat (1) huruf a.
Dengan
penegasan tersebut, seyogyanya masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas
pengampunan tersebut secara optimal, dan kedepan akan tercipta wajib pajak yang
taat pajak dan aparat pajak yang bersih dan professional.
- PENUTUP
Pemerintah
bertekad untuk mengintensifkan penerimaan pajak guna menambal defisit APBN.
Wajib pajak yang ikut dan yang tidak ikut sunset policy menjadi sasaran
intensifikasi.Pemerintah dianggap menjebak WP sunset policy? Sunset policy
kembali membuat gempar. Wajib pajak yang ikut sunset policy merasakan kecemasan
mereka menjadi kenyataan, bahwa sunset policy hanya jebakan saja.Buktinya,
terhadap WP yang ikut sunset policy dan melaporkan hartanya akan dilakukan
intensifikasi atau imbauan agar melakukan pembayaran pajak dengan benar.Yang
sangat ditakutkan wajib pajak, adalah jika imbauan tidak dihiraukan maka akan
dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak.
Program
sunset policy yang sudah dibahas pada pembahasan. Diatur pada Pasal 37 A UU
Nomor 28/2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, merupakan fasilitas
pengampunan pajak (tax amnesty secara terbatas).Dengan program ini, bagi wajib
pajak yang belum melaporkan SPT (surat pemberitahuan) tahunan, dapat melakukan
perbaikan SPT Tahunan tanpa dikenai sanksi denda administrasi. Tentu perbaikan
SPT Tahunan disyaratkan ada pembayaran pajak.Contoh saja jika ada WP orang
pribadi yang selama ini melaporkan hanya memiliki satu rumah dengan status
pembayaran nihil, dengan program sunset policy, WP melaporkan memiliki empat
rumah, walaupun hanya melakukan setoran kurang bayar untuk SPT Tahunan hanya
sebesar Rp1 juta (dari tarif PPh sebesar 5% dikalikan penghasilan tambahan Rp20
juta).Tentu dari sisi pemeriksaan pajak, hal ini tidak wajar, jika melaporkan
tiga rumah tambahan tetapi penghasilan hanya bertambah sebesar Rp20 juta
saja.Namun demikian, hal ini sah secara hukum, dan terhadap WP tidak akan
dilakukan pemeriksaan atas laporan penghasilan yang tidak wajar pada SPT sunset
policy.
Bahkan
secara khusus Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) Nomor 66/PMK.03/2008 tentang kebijakan sunset policy.Pada Pasal 4
Permenkeu tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa atas data dan informasi
yang dilaporkan WP pada SPT Pajak Penghasilan, tidak dapat digunakan sebagai
dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.Jaminan bahwa
terhadap WP tidak akan dilaksanakan pemeriksaan kecuali data yang disampaikan
tidak benar, diatur dengan Pasal 5 Permenkeu yang sama.
Tujuan
sunset policy agar wajib pajak melaporkan semua asetnya sehingga Pemerintah
memiliki database dan administrasi perpajakan yang lebih baik sebagai
fundamental penerimaan pajak pada masa depan.
Pemerintah
tidak akan melihat masa lalu wajib pajak yang tidak melaporkan SPT dengan
benar, asalkan wajib pajak bersedia mengisi SPT sunset policy dengan data yang
sebenar -benarnya.
Pertanyaannya,
jika demikian tujuan Pemerintah, mengapa sekarang sunset policy masih
diutak-atik lagi. Berikut hasil penelusuran
informasi yang didapat sebagai
berikut :
1) Pertama,
WP tidak melaporkan seluruh asetnya pada SPT sunset policy.
Misalkan
WP melaporkan hartanya pada SPT sunset yaitu empat rumah tinggal, satu mobil
niaga, deposito, dan dua mobil mewah.Sementara itu, Pemerintah memiliki data
bahwa WP tersebut ternyata juga memiliki beberapa ruko -ruko yang disewakan dan
kepemilikan saham di beberapa perusahaan, tetapi tidak dilaporkan pada SPT sunset
policy.Wajib periksa WP Tentu saja, atas aset yang tidak dilaporkan, Pemerintah
berkewajiban melakukan pemeriksaan karena WP tidak melaporkan se luruh asetnya
secara benar, sesuai dengan Pasal 5 Permenkeu) Nomor 66/PMK.03/2008.
Jikalau
WP melaporkan SPT sunset policy secara benar, maka tindakan pemeriksaan tidak
akan pernah ada. Namun tidak demikian yang terjadi, WP tersebut di atas
melakukan dengan sadar dengan menyembunyikan sebagian asetnya dari pelaporan
SPT sunset policy.
2) Kedua,
WP yang telah melakukan pembetulan SPT sunset policy, ternyata kembali
melaporkan SPT seperti kondisi sebelum ikut sunset policy.
Contohnya
seorang pengusaha selama ini melaporkan SPT Tahunan PPh dengan nihil karena
hanya melaporkan penghasilan dari satu perusahaan saja.Pada saat program sunset
policy, pengusaha ini melakukan perbaikan SPT PPh tahun 2001 sampai tahun 2007
dengan penghasilan tahunan di luar gaji sebagai direktur, rata-rata sebesar Rp1
miliar.Ternyata pada SPT PPh tahun 2008 dan 2009, pengusaha tersebut kembali
melaporkan SPT Tahunan PPh dengan status nihil. Tentu ini menimbulkan
pertanyaan, apakah pengusaha tersebut tiba-tiba mengalami kebangkrutan bisnis?.
Nah, pemerintah bisa mempertanyakan hal ini dengan me lakukan imbauan kepada
wajib pajak bersangkutan, mengapa SPT PPh tahun 2008 dan 2009 tidak nyambung
dengan SPT PPh tahun 2001 2007 yang dimasukkan pada program sunset policy.
3) Ketiga,
masalah utilisasi aset yang dilaporkan WP pada SPT sunset policy. Hampir sama
dengan alasan kedua, Pemerintah dapat mempertanyakan utilisasi aset yang
dilaporkan oleh WP.
Misalkan
pada SPT sunset policy, WP melaporkan memiliki tiga unit rumah tinggal, lima
unit ruko dan saham di perusahaan tertutup.Pemerintah bisa mempertanya kan
apakah ketiga rumah tersebut ditinggali semua atau sebagian disewakan? Jika
disewakan, bagaimana dengan pelaporan pajak atas sewa yang diterima.Untuk
kepemilikan ruko, apakah ruko tersebut disewakan atau digunakan sendiri. Jika
digunakan sendiri, bisa dikaji pembayaran pajak penghasilan dari bisnis yang
dilakukan oleh WP tersebut.Kemudian untuk kepemilikan saham, bisa dikaji apakah
WP menerima dividen secara rutin atau dividen diwujudkan dalam bentuk natura
atau fasilitas lainnya, sehingga menjadi taxable (dapat dikenakan pajak).
Jika
dilihat tiga alasan di atas, keinginan Pemerintah untuk memberdayakan data
sunset policy bukan merupakan tindakan penjebakan bagi wajib pajak.
Apabila
WP telah melaporkan aset secara benar pada SPT sunset policy, WP dianggap telah
bersikap jujur, terbuka, dan tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu.Dari
titik tolak ini, diharapkan pelaporan dan pembayaran pajak oleh wajib pajak,
pada tahun-tahun mendatang juga sesuai kondisi sebenarnya dengan tidak
melakukan tax evasion (penggelapan pajak) yang melanggar ketentuan pajak.
DAFTAR PUSTAKA