Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. HAKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
Ruang lingkup H.K.I.:
- Hak Cipta
- Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Dasar hukum: UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
- Hak cipta mengandung:
- hak moral
contohnya: lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang diakui menjadi ciptaan saya. - hak ekonomi
hak ekomoni berhubungan dengan bisnis atau nilai ekonomis.
contohnya: mp3, vcd, dvd bajakan.
- hak moral
- Sifat hak cipta:
- hak cipta dianggap sebagai benda bergerak dan tidak berwujud
- hak cipta dapat dialihkan seluruhnya atau sebagian, bila dialihkan harus tertulis (bisa di notaris atau di bawah tangan)
- hak cipta tidak dapat disita, kecuali jika diperoleh secara melawan hukum
- Ciptaan tidak wajib didaftarkan karena pendaftaran hanya alat bukti bila ada pihak lain ingin mengakui hasil ciptaannya di kemudian hari.
- Jangka waktu perlindungan hak cipta:
- Selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
- 50 tahun sejak diumumkan/diterbitkan untuk program komputer, sinematografi, fotografi, data base dan karya hasil pengalihwujudan, perwajahan karya tulis, buku pamflet, dan hasil karya tulis yang dipegang oleh badan hukum.
- Tanpa batas waktu: untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran pencipta.
- Hak Atas Kekayaan Industri
- Patent (Hak Paten)
- Hak paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
- Dasar hukum: UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten.
- Jangka waktu paten: 20 tahun, paten sederhana: 10 tahun.
- Paten tidak diberikan untuk invensi:
- bertentangan dengan UU, moralitas agama, ketertiban umum, kesusilaan.
- metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan.
- teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
- makhluk hidup dan proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan.
- contohnya: Ballpoint, untuk masalah teknologi tinta.
- Trademark (Hak Merek)
- contohnya: Ballpoint, untuk tulisan (misalnya) Parker.
- Industrial Design (Hak Produk Industri)
- contohnya: Ballpoint, untuk desain atau bentuk.
- Represion Of Unfair Competition Practices (Penanggulangan Praktik Persaingan Curang)
- Patent (Hak Paten)
Beberapa peristiwa lahirnya karya Intelektual :
— Pada zaman purba ( ancient world ). Mula – mula , corak merek dimulai dengan cap atau “ Branding “ pada hewan peliharaan. Pada masa purba sebelum manusia pandai tulis baca, keberadaan merek masih dalam bentuk “ tanda “ ( design ). Bentuk yang seperti ini berlangsung berabad-abad. Sebagai contoh gambar lukisan pada dinding di Mesir Purba. Lukisan pada gua di bagian barat – daya Eropa. Diperkirakan digambar pada Zaman Batu ( Stone Age ). Zaman Perunggu ( Bronze age ), terjadi perkembangan . Ternak peliharaan mulai dicap pada bagian pinggul.(dikutip dari Yahya Harahap : Tinjauan Merek Secara Umum, )
— Masa 35 S.M. – 265, pada Masa ini dikawasan Imperium Romawi, berkembang kerajinan Tembikar. Masing-masing tembikar yang dihasilkan, memakai merek pada saat lampu minyak Romawi berkembang sebagi salah satu barang penting dalam perdagangan , lampu minyak merek FORTIS memperoleh kemajuan pesat. Kemajuan yang dialami FORTIS mengakibatkan perdagangan yang menjual barang hasil kerajinan dan senjata, meniru merek tersebut. Bermunculan barang kerajinan yang meniru dan memalsu merek FORTIS, mulai dari Prancis, Jerman, Belanda, Inggris dan Spanyol. Dengan demikian jika pada mulanya merek FORTIS hanya diklasifikasi untuk jenis barang lampu minyak, ternyata para produsen telah memakainya untuk berbagai jenis barang produksi dalam persaingan.
— pada tahun 567 AD yaitu pada zaman Romawi ketika seorang penyair Martial mengecam keras seseorang yang membacakan sajak-sajaknya dimuka umum tanpa seijinnya. Martial menamakan perbuatan ini sebagai plagium, arti dari sebenarnya dari plagium ini adalah adanya ide hubungan atau keterkaitan antara pencipta dengan ciptaannya (Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, Alumni:2002, hal.47) tindakan membacakan dan menyalin suatu karya cipta tanpa ijin penciptanya dianggap sebagai penjiplakan karena saat itu belum adanya mesin cetak.
— Pada tahun 1709 di Inggris untuk pertama kalinya diundangkan suatu Undang-undang Hak Cipta yang pertama di dunia “STATUE OF ANNE”, undang-undang ini secara berarti mengubah status seorang pencipta menjadi pemilik eksklusif karya ciptanya sehingga seorang pencipta karya tulis mempunyai hak khusus dan kebebasan mencetak.
B. PRINSIP - PRINSIP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL.
— Pada tahun 1709 di Inggris untuk pertama kalinya diundangkan suatu Undang-undang Hak Cipta yang pertama di dunia “STATUE OF ANNE”, undang-undang ini secara berarti mengubah status seorang pencipta menjadi pemilik eksklusif karya ciptanya sehingga seorang pencipta karya tulis mempunyai hak khusus dan kebebasan mencetak.
— Menetapkan standar minimum untuk perlindungan dan penegakan hukum HaKI di negara –negara peserta.
— Masing-masing negara peserta harus melindungi warga negara dari negara peserta lainnya
— Negara-negara peserta diharuskan memberikan perlindungan HaKI yang sama kepada warga negara peserta lainnya
— Penegakan hukum yang ketat disertai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa ,yang diikuti dengan hak bagi negara yang dirugikan untuk mengabil tindakan balasan secara silang.
C. HUKUM - HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL.
UU tentang H.K.I di Indonesia:
- UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
- UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
- UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
- UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
- UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Penetapan Sementara Pengadilan Niaga Untuk Pelanggaran HKI
Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan
Niaga untuk menerbitkan Surat Penetapan Sementara tentang pencegahan masuknya produk
yang berkaitan dengan pelanggaran HKI dan penyimpanan bukti yang berkaitan dengan
pelanggaran HKI.
Begitulah bunyi ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang HKI kita mengenai
Penetapan Sementara Pengadilan. Lebih tepatnya, ketentuan tersebut diatur di
dalam Pasal 49-52 UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 125-128
UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 85-88 UU No.15 Tahun 2001 Tentang
Merek, dan Pasal 67-70 UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Ketentuan tersebut disyaratkan oleh TRIPs Agreement yang untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Pasal 44-60. Indonesia telah meratifikasi TRIPs Agreement
tersebut melalui UU No.7 Tahun 1994. Sebagai konsekuensinya, Undang-undang
HKI kita harus menyesuaikan (comply) dengan ketentuan TRIPs tersebut.
Anton Piller Order
Cikal bakal penetapan sementara berawal dari celebrated case (Anton Piller v.
Manufacturing Processes) yang terjadi di Inggris pada 1976. Saat itu, pengadilan
setempat (High Court or Patents County Court) menerbitkan Penetapan Sementara
(interlocutory injunction) berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon
(Anton Piller), tanpa memberikan notice (temporary restraining order) kepada
Termohon (Manufacturing Processes) untuk menginspeksi bangunan, gudang,
kantor, rumah milik Termohon dan menyita, memeriksa pembukuan, membuat
salinan (copy), melakukan pemotretan terhadap barang-barang yang diduga telah
melanggar HKI milik Pemohon. Tentunya hal tersebut harus dilakukan oleh
Pemohon bersama-sama dengan jurusita (bailiff-court officer).
Apabila Termohon tidak mematuhi atau tidak mengizinkan Pemohon untuk
menginspeksi dan memeriksa atau tidak mematuhi/melawan penetapan (court
order) tersebut, maka tindakannya itu sudah merupakan contempt of court.
Termohon juga diwajibkan untuk menyerahkan barang-barang hasil pelanggaran
HKI tersebut apabila dibutuhkan, termasuk incriminating documents dan
pembukuan, bahkan memberikan informasi tentang source of supply dan destination
of stock.
Penetapan Sementara ini (interlocutory injunction dalam bentuk temporary
restraining order) hanya diberikan oleh pengadilan apabila Pemohon dapat
memberikan bukti yang kuat adanya dugaan pelanggaran HKI, menunjukkan
kerugian, baik aktual maupun potensi yang diderita sangat serius, dan
memberikan bukti valid (clear evidence) bahwa Termohon memiliki incriminating
documents dan bukti lain dimana ada kekhawatiran barang bukti tersebut akan
hilang atau dimusnahkan.
Adapun tujuan diberikannya Penetapan Sementara ini diberikan sebelum perkara
diperiksa adalah untuk membantu Pemohon menghitung dan mengkalkulasikan
kerugian—baik aktual maupun potensi--serta hilangnya keuntungan yang
diharapkan pada saat meminta ganti rugi (damages) di dalam gugatan perdata atau
pada saat perkara telah diperiks .
Selanjutnya, pengadilan akan memonitor sepak terjang Pemohon di dalam
melaksanakan penetapan tersebut. Pemohon tidak boleh berlebihan didalam
mengeksekusi atau melaksanakan Penetapan Sementara tersebut, misalnya,
sampai menutup atau mematikan usaha (business) Termohon. Lebih jauh lagi,
apabila, barang-barang atau dokumen dan pembukuan yang disita telah selesai
diperiksa dan informasi yang dibutuhkan telah diperoleh, maka barang-barang
tersebut harus diserahkan kembali kepada Termohon.
Di sisi lain, Termohon dapat pula mengajukan permohonan to discharge the order
(membatalkan penetapan tersebut) dengan dalih Pemohon telah berlebihan dan
tidak melaksanakan court order tersebut sebagaimana mestinya. Dikabulkan atau
ditolaknya permohonan untuk membatalkan Penetapan Sementara tersebut adalah
sepenuhnya wewenang Pengadilan. Artinya, Pengadilan pun dapat membatalkan
Penetapan Sementara tersebut tanpa harus adanya permohonan dari Termohon
apabila ternyata Pemohon berlebihan (excessive) di dalam mengeksekusi Penetapan
Sementara tersebut, dan apabila informasi dan bukti yang dikumpulkan oleh
Pemohon tidak menunjukkan adanya pelanggaran HKI.
Jika permohonan Termohon untuk membatalkan penetapan dikabulkan atau
Penetapan Sementara Pengadilan tersebut dibatalkan dengan sendirinya oleh
pengadilan, maka Termohon berhak mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang
dideritanya selama dikeluarkan Penetapan Sementara Pengadilan tersebut.
Penetapan Sementara di Indonesia
Interlocutory injunction diberikan sebelum perkara diperiksa. Interlocutory
injunction ini dapat berupa preliminary injunction yaitu dimana setelah Termohon
mendapat notice dan berkesempatan merespons, dan temporary restraining order
yaitu tidak adanya notice atau pemberitahuan kepada Termohon.
Interlocutory injunction baik dalam bentuk “preliminary injunction” maupun
“temporary restraining order” yang diberikan sebelum perkara diperiksa (before
hearing) tidak dikenal di dalam sistem hukum kita. Sistem hukum yang demikian
hanya lazim di negara-negara Anglo Saxon.
Hal ini tidak memungkinkan menurut Hukum Acara kita (HIR untuk Jawa dan
Madura; RBG untuk daerah luar Jawa). Pengadilan tidak dapat menerbitkan
Penetapan Sementara sebelum perkara diperiksa. Penetapan Sementara hanya
dapat diberikan pada saat atau setelah perkara diperiksa dalam bentuk Putusan
Sela atau Putusan Provisi. Dengan demikian gugatan harus diajukan terlebih dahulu
dan perkara harus diperiksa terlebih dahulu. Putusan Provisi harus diminta oleh
Penggugat di dalam petitum gugatan. Dengan kata lain, Putusan Provisi tersebut
tidak dapat diberikan berdasarkan permohonan, tapi harus berdasarkan gugatan.
Demi TRIPs, Undang-undang HKI kita “mencaplok habis” ketentuan Penetapan
Sementara sebagaimana yang dimaksud di dalam Anton Piller Order tersebut.
Namun sayangnya ketentuan tersebut tidak jelas dan tidak rinci. Tidak disebutkan
bagaimana proses pengajuannya di Pengadilan Niaga. Selain itu, juga tidak
disebutkan syarat-syarat untuk mengajukan permohonan tersebut.
Lebih jauh lagi, masalah kelengkapan yang perlu dilampirkan, siapa yang akan
melaksanakan penetapan sementara, cara untuk mengetahui bahwa Penetapan
Sementara tersebut dilaksanakan, sanksi bagi Termohon jika tidak patuh pada
penetapan sementara (UU Contempt of Court masih berbentuk Rancangan),
masalah jangka waktu, serta berbagai persyaratan formil lainnya.
UU HKI kita sebagaimana tersebut di atas hanya mensyaratkan permohonan
penetapan sementara secara tertulis harus disertai bukti kepemilikan HKI, bukti
awal adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran HKI, keterangan
yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan
dan diamankan untuk keperluan pembuktian.
Selain itu, disyaratkan pula adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga
melakukan pelanggaran HKI akan dapat dengan mudah menghilangkan barang
bukti. Pemohon juga diwajibkan untuk membayar uang jaminan berupa uang tunai
atau jaminan bank.
Namun demikian, bagaimana cara mengajukan permohonan Penetapan Sementara
tersebut sampai sekarang tidak jelas. Belum ada satu pihak pun yang berani
mencoba mengajukan permohonan tersebut ke Pengadilan Niaga karena
mekanismenya belum jelas. Terlebih lagi, pemohon diwajibkan membayar uang
jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank pula.
Politik Hukum
Perlu pengaturan lebih lanjut untuk dapat menerapkan Anton Piller Order di
Indonesia, baik dalam bentuk Surat Edaran oleh Mahkamah Agung ataupun PP oleh
Pemerintah yang mengatur secara rinci cara dan persyaratan formilnya. Memang
UU HKI tidak menyebutkan bahwa tata cara pengajuan permohonan Penetapan
Sementara akan diatur oleh ketentuan khusus lebih lanjut.
Namun, absennya pengaturan lebih lanjut tersebut mengakibatkan mandulnya
Undang-undang HKI kita. Ketentuan Penetapan Sementara sebagaimana tertuang
pada Pasal 49-52 UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, Pasal 125-128 UU
No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, Pasal 85-88 UU No.15 Tahun 2001 Tentang
Merek, dan Pasal 67-70 UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta hanya merupakan
“macan ompong”.
Di satu sisi sangat menggembirakan WTO karena telah memenuhi persyaratan yang
diatur TRIPs. Di sisi lain ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Apakah memang kondisi demikian yang dikehendaki? Apakah memang
Indonesia haven pembajakan? Haruskah kita menunggu sampai benar-benar siap
bersaing secara global? Pembaca budiman sekalian tidak perlu pusing
menjawabnya. Biarlah “Politik Hukum” dan “political will” Pemerintah yang
menjawab.
Hukumonline.com http://hukumonline.com/print.asp?id=13441&cl=Kolom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar